Info Terkini

ASSALAMU'ALAIKUM WR. WB, MARI JADIKAN ISLAM SEBAGAI JALAN HIDUP, AGAR HIDUP KITA ISLAMI (SELAMAT)

Minggu, 15 Agustus 2010

CARA PEMBAGIAN WARIS JIKA PEWARIS DAN SALAH SEORANG AHLIWARISNYA MENINGGAL BERSAMAAN

CARA PEMBAGIAN WARIS JIKA PEWARIS DAN SALAH SEORANG AHLIWARISNYA MENINGGAL BERSAMAAN                
-->ARTIKEL OLEH : ICANG WAHYUDIN (Pengadilan Agama Padang)

A.    Latar belakang

Artikel ini dilatarbelakangi oleh kasus atau musibah yang banyak menelan korban jiwa seperti kecelakaan pesawat, gempa bumi, longsor dan lain sebagainya yang boleh jadi diantara korban-korban tersebut mempunyai hubungan kewarisan. Dalam kasus tersebut seringkali tidak diketahui siapa diantara mereka yang meninggal terlebih dahulu dari yang lain. Dalam artikel ini akan dianalisa mengenai cara pembagian warisan apabila meninggal orang-orang yang mempunyai hubungan kewarisan dan tidak diketahui siapa diantara keduanya yang terlebih dahulu meninggal dunia. Tidak termasuk dalam ruang lingkup pembahasan ini jika telah diketahui siapa diantara mereka yang meninggal terlebih dahulu.
 

B.    Analisa

Terhadap kasus tersebut diatas akan ditemukan dua pendapat yang berbeda tentang penyelesaian pembagian harta warisannya. Dua pendapat tersebut dikemukakan oleh Mazhab Hanbali dan Jumhur. Menurut pendapat yang populer dikalangan Mazhab Hanbali bahwa diantara orang yang meninggal dan tidak diketahui siapa yang meninggal terlebih dahulu serta keduanya ada hubungan kewarisan, maka keduanya saling mewarisi (orang pertama mewarisi yang lain dan sebaliknya) disamping juga mewarisi ahli waris yang masih hidup secara nyata.
Cara yang ditempuh oleh Mazhab Hanbali dalam menyelesaikan kasus tersebut ditempuh dengan dua tahap yaitu cara fiktif dan secara riil. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan beserta contohnya sebagai berikut : (Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), Cet. Ke-1 h.316)

Amir dan anaknya Ali meninggal dalam suatu kecelakaan, Amir meninggalkan harta yang akan dibagikan kepada ahliwarisnya (setelah dikeluarkan kewajibannya) senilai 24 juta, dan Ali (belum menikah) meninggalkan harta yang akan dibagikan kepada ahliwarisnya senilai 8 juta. Ahliwaris Amir adalah isterinya (Hasanah), ibunya (Zubaidah), serta dua anak Hasan dan Ali (yang meninggal bersamanya). Sedangkan ahliwaris Ali adalah ibunya (Hasanah), saudara kandungnya (Hasan), dan ayahnya Amir (yang meninggal bersama dengannya).

Langkah pertama menyelesaikan secara fiktif : Pembagian harta Amir adalah : isterinya 1/8 karena ada anak,  ibunya 1/6 karena bersama dengan anak, dan dua orang anaknya mendapat sisa. Dengan demikian isterinya (Hasanah) mendapat 1/8 x 24.000.000,- = Rp. 3.000.000,- ; ibunya (Zubaidah) memperoleh 1/6 x 24.000.000,- = Rp.4.000.000,-; dua orang anaknya (Hasan dan Ali) mendapat sisa Rp. 24.000.000,- dikurang Rp.7.000.000,- = Rp. 17.000.000,- dibagi dua jadi masing-masing memperoleh Rp. 8.500.000,-.

Penyelesaian pembagian harta Ali adalah : ibunya mendapat 1/3 karena Ali tidak mempunyai anak, saudara kandungnya terhijab oleh ayahnya, dan ayahnya mendapat sisa. Jadi Ibunya (Hasanah) memperoleh 1/3 x 8.000.000,- = Rp. 2.666.667,- dan ayahnya (Amir) memperoleh sisa Rp. 8.000.000,- dikurang Rp. 2.666.667,- = Rp.5.333.333,-.

Harta Amir yang akan dibagikan kepada ahliwarisnya secara riil (nyata) akan berubah karena pembagian secara fiktif diatas. Harta Amir yang akan dibagikan kepada ahliwarisnya yang masih hidup ketika ia meninggal berjumlah Rp. 24.000.000,- (harta semula) dikurangi hak waris Ali Rp. 8.500.000,- kemudian ditambah Rp. 5.333.333,- (waris yang diperoleh dari Ali) sehingga seluruhnya berjumlah Rp. 20.833.333,-.

Sedangkan harta Ali yang akan dibagikan kepada ahliwarisnya yang masih hidup ketika ia meninggal dunia berjumlah Rp. 8.000.000,- (harta asal) diambil Rp.5.333.333,- (sebagai hak waris ayahnya) kemudian ditambah Rp. 8.500.000,-(warisan yang diperoleh dari ayahnya), sehingga keseluruhannya berjumlah Rp. 11.166.667,-.
Tahap kedua pembagian harta warisan masing-masing secara nyata kepada masing-masing ahliwarisnya yang masih hidup. Harta Amir yang akan dibagikan sebesar Rp. 20.833.333,- ahliwarisnya terdiri dari seorang  isteri (Hasanah), seorang ibu (Zubaidah), dan seorang anak (Hasan). Isterinya mendapat 1/8 karena ada anak, ibunya mendapat 1/6 karena ada anak, dan anaknya mendapat sisa, sehingga isterinya menerima 1/8 x Rp.20.833.333,-= Rp. 2.604.166,- ; ibunya 1/6 x 20.833.333,- = 3.472.222,- dan satu orang anak laki-laki mendapat sisa sebesar Rp.14.756.944,-.

Harta Ali yang akan dibagikan secara nyata kepada ahliwarisnya yang masih hidup adalah Rp.11.166.667,-, ahliwarisnya terdiri dari ibu (Hasanah) dan saudara laki-laki kandung (Hasan). Ibunya mendapat 1/3 karena tidak ada anak dan saudara kandung mendapat sisa. Dengan demikian ibunya akan menerima 1/3 x 11.166.667,- = Rp. 3.722.222,- dan saudara laki-laki kandungnya memperoleh sisa sebesar Rp. 7.444.445,-.

Dari hasil mewarisi keduanya maka Zubaidah memperoleh 3.472.222,-; Hasanah memperoleh Rp.6.326.388,-; dan Hasan memperoleh Rp.22.201.389,-.


Pendapat Mazhab Hanbali ini didasari oleh beberapa dalil antara lain :

1.    Hadis yang diriwayatkan dari Iyas bin Abdullah al-Muzni  : (Ibnu Qudamah, Al-Mughni wa Asy-Syarhu al-Kabir, (Makkah : al-Maktab al-Tijariyah, tt), Juz,VII, h. 187)
 
-->
روى اياس بن عبد الله المز ني ان النبي ص م: سئل عن قو م وقع عليهم بيت فقا ل : "ير ث بعضهم بعضا"
 

Artinya : Dari Iyas bin Abdullah al-Muzni ia berkata : sesungguhnya Nabi SAW ditanya tentang suatu kaum yang meninggal karena tertimpa bangunan rumah, maka nabi menjawab “sebagian mereka mewarisi sebagian yang lain”( Ahmad).

2.    Perkataan asy-Sya’bi : ( Ibnu Muflih, al-Mubdi’ fi Syarh al-Mugni’ (Beirut : al-Maktab al-Islami,1982), Cet. Ke-1., h.228)   
 
قا ل الشعبي : وقع الطاعون بالشام عام عمواس, فجعل اهل البيت يموتون عن اخرهم , فكتب في ذلك الى عمر , فامر عمر ان يورثوا بعضهم من بعض        
                                   
-->
Artinya : Asy-Sya’bi berkata : telah terjadi wabah penyakit “Tha’un” di Syam pada tahun (18 H) di kampung “amawas” yang mengakibatkan seisi rumah meninggal, kemudian ditulis surat kepada Umar bin Khatab RA, kemudian Umar memerintahkan dalam suratnya untuk mewarisi sebagian mereka atas sebagian yang lain.

Atsar diatas berkenaan dengan musibah wabah penyakit radang paru-paru, pes dan lain-lain yang terjadi di kampung Amawas. Wabah penyakit ini merupakan peristiwa pertama dalam sejarah islam yang tarjadi pada tahun 18 H. Wabah ini menewaskan 25.000 muslimin termasuk Gubernur Syam pada waktu itu yakni Abu Ubaidah bin Jarrah dalam usia 53 tahun. Kemudian peristiwa ini diberitakan kepada Umar bin Khatab, lalu beliau menggantikan posisi Gubernur Syam dengan Yazid bin Abi Syofyan.

Atsar senada juga ditemukan dalam Sunan ad-Darami :(Ad-Darami, Sunan ad-Darami, (Beirut : Dar al-Fikr, tt) Juz. II, h. 379) 

اخبرنا) جعفر بن عون انا ابن ابي ليلى عن الشعبي ان بيتا في الشام وقع على قوم فورث عمر بعضهم من بعض)

Artinya : Dikhabarkan kepada kami dari Ja’far bin ‘Aun Abi Laila dari Asy-Sya’bi bahwa terjadi atas kaum yang menginap (menetap) di Syam (wabah) yang mengakibatkan meninggalnya penduduk, maka Umar bin Khatab menjadikan sebagian mereka mewarisi sebagian yang lain.

3.    Hadis dari Ali bin Abi Thalib : (Ibid)
 
-->حدثنا) ابو نعيم عن سفيان عن حريش عن ابيه عن علي انه ورث اخوين قتلا  بصفين احدهما من الاخر) 
Artinya : Diriwayatkan kepada kami dari Abu Nu’man dari Syofyan dari Harits dari Bapaknya dari Ali bahwa sesungguhnya dia (Ali) mewarisi dua orang yang gugur dalam perang siffin salah satunya dari yang lain.

Selain dalil riwayat yang dikemukakan diatas, kelihatan dari cara pembagian yang dilakukan Mazhab Hanbali terhadap kasus tersebut, bahwa Mazhab Hanbali juga menggunakan logika  berfikir sebagai alasannya. Dengan tidak diketahuinya secara pasti siapa yang terlebih dahulu meninggal, demi kehati-hatian, jangan sampai hak seseorang terlewatkan maka ditempuh dua tahap pembagian yaitu secara fiktif dan secara riil sebagaimana contoh diatas. Kehati-hatian diperlukan karena berkaitan dengan kepastian hukum yang dalam hal ini menyangkut hak seseorang yang berkenaan dengan kewarisan sehingga perlu diperhitungkan secara pasti.

Adapun menurut Jumhur dalam kasus ini mereka tidak saling mewarisi dan harta mereka (yang meninggal) diwariskan kepada ahliwaris mereka masing-masing yang masih hidup dengan alasan :
Atsar dari Rabi’ah bin Abi ‘Abdi al-Rahman yang terdapat dalam kitab Imam Malik : (Malik bin Annas, Al-Muwatta’, (Beirut : Dar al-Fikr, 1989), h. 328)
 
-->عن ربيعة  بن ابي عبد الرحمن قا ل ...من قتل يوم الجمل و يوم صفين و يوم الحرة ثم كان يوم  قديد. فلم يورث  احد منهم من صاحبه شيئا . الا من علم انه قتل قبل صاحبه. 
Artinya : Dari Rabi’ah bin Abi Abdurrahman ia berkata ... Orang-orang yang gugur pada perang jamal, siffin, dan hurrah, kemudian pada perang qudaid tidak saling mewarisi sesuatupun diantara mereka dari sahabatnya kecuali yang diketahui gugurnya seseorang dari sahabatnya (HR. Malik).

Atsar senada juga diriwayatkan  Sa’id, beliau berkata : (Ibnu Qudamah, op.cit., h.187)
 
-->حدثنا اسماعيل بن عياش عن يحي بن سعيد ان قتل يوم اليمامة  وقتل صقين و الحرة لم يورث بعضهم من بعض ورثوا عصبتهم الاحياء . 
Artinya : Diriwayatkan dari Isma’il bin ‘Iyas dari Yahya bin Sa’id bahwa orang yang gugur dalam perang yamamah, siffin dan hurrah sebagian mereka tidak mewarisi sebagian yang lain tapi diwarisi kepada ‘asabahnya yang masih hidup.

Riwayat lain dari Na’in bin Khalid dari ‘Abdul ‘Aziz Muhammad dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya bahwa Ummu Kultsum dan puteranya Zaid meninggal dalam perang Uhud, maka tidak saling mewarisi diantara mereka.(Ad-Darami, op.cit., h. 379)   Disisi lain jumhur menolak hadits yang diriwayatkan dari Iyas bin Abdullah al-Muzny dengan alasan bahwa hadis tersebut berasal dari Iyas sendiri dan bukan dari Nabi SAW.(Ibnu Qudamah, op.cit. h.192)  Menanggapi perbedaan pendapat tersebut Ibnu Muflih dalam kitabnya al-Mubdi’ fi Syarh al-Mugni’ menyatakan bahwa pendapat yang menyatakan diantara mereka saling mewarisi lebih baik. Insya’ Allah.(Ibu Muflih, op.cit, h. 230)

Dengan memperhatikan cara penyelesaian pembagian warisan yang dilakukan oleh Mazhab Hanbali, jelas terdapat perbedaan yang jauh dengan pendapat Jumhur ulama. Perbedaan ini bukan disebabkan oleh perbedaan prinsip-prinsip kewarisan, akan tetapi lebih disebabkan oleh dua faktor yaitu dalil yang menjadi hujjah oleh Mazhab Hanbali serta kehati-hatian (ihtiat) dalam menentukan  hak seseorang yang perlu di perhitungkan dengan cermat.

Menanggapi kevalidan hadis yang menjadi hujjah bagi Imam Ahmad bin Hanbal, penulis menganalisa berdasarkan kitab al-Mu’tamad fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal dimana dalam kitab tersebut disebutkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibrahim asy-Sya’bi tersebut dha’if, karena sanadnya tidak berhenti sampai asy-Sya’bi.(Asy-Syaibani dan Ibnu Duyan, Al-Mu’tamad fi Fiqh al-Imam Ahmad bin Hanbal, (Beirut : Dar al-Jair, 1991), Cet. 1, h. 98)   Kehujjahan Imam Ahmad bin Hanbal terhadap hadis ini dapat  dipahami karena beliau menggunakan hadis dla’if sebagai metode istimbathnya.
Imam Ahmad bi Hambal hanya membagi hadis ke dalam dua bagia saja yaitu hadis shahih dan hadis dla’if. Hadis dla’if yag dimaksud oleh Imam Ahmad bin Hambal bukanlah hadis dla’if menurut pengetian jumhur ulama. Sehingga hadis dla’if yang dimaksud Imam Ahmad bukan hadis batil.

Dikaitkan dengan metode istimbath yang dipakai oleh Imam Ahmad bin Hanbal, maka akan kelihatan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal lebih cenderung kepada riwayat yang berasal dari sahabat dekat Nabi SAW yakni Umar bin Khatab dan Ali bin Abi Thalib. Sebagaimana diketahui bahwa Imam Ahmad bin Hanbal lebih banyak mengambil riwayat dari sahabat dekat Nabi atau salaf. Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa menurut Imam Ahmad pendapat yang menyatakan diantara mereka saling mewarisi adalah pendapat yang paling kuat.
Dari perbedaan pendapat tentang alasan yang menjadi hujjah tersebut tentu saja berbeda pula dengan cara penyelesaiannya. Menurut Prof. DR. H. Amir Syarifuddin pendapat yang menyatakan bahwa diantara mereka saling mewarisi lebih melihat aspek kehati-hatian jangan sampai hak seseorang terlewatkan karena kurang diperhitungkan, sedangkan pendapat yang menyatakan diantara mereka tidak saling mewarisi melihat secara praktis terutama keduanya sudah tidak ada dan tidak mungkin dibuktikan kepastian hak masing-masing.(Amir Syarifuddin, Permasalahan dalam Pelaksanaan Fara’id, (Padang : IAIN “IB” Press,1999) Cet. Ke-1, h. 104)  

Sebagaimana yang telah disinggung diatas, bahwa permasalahan ini muncul karena tidak diketahuinya siapa diantara mereka yang meninggal terlebih dahulu. Untuk mengetahui siapa yang meninggal terlebih dahulu dapat diperoleh dari kesaksian dibawah sumpah atau dengan metode yang lebih modern yaitu dengan toksikologi dengan cara autopsi mediko legal yang merupakan bagaian  dari ilmu kedokteran forensik (forensic medicine).(P. Vijay Cadha, Bahan Kuliah Forensik dan Toksikologi, Alih Bahasa Johan Hutauruk, (Jakarta : Widya Mdika, 1995), h. 3)  Untuk membuktikan siapa diantara dua orang yang meninggal terlebih dahulu, maka dokter juga berperan untuk membuktikan atau menguatkan dugaan tentang kebenaran  sesuatu yang dalam hal ini berkenaan dengan pemeriksaan jenazah. Pemriksaan ini dilakukan terhadap mayat dengan pemeriksaan dalam maupun pemeriksaan luar. Antara forensik dengan dengan toksikologi pada hakikatnya sama, hanya saja toksikologi lebih mengarah kepada analisa kimia. Akan tetapi tanpa pemeriksaan toksikologis, maka visum et repertum tidak berarti.(Abdul Mun’im Idris dkk, (ed), Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Jakarta : Gunung Agung, 1985), Cet. Ke-2, h.9).

WALLOHU 'ALAM BISSOWAB.