Info Terkini

ASSALAMU'ALAIKUM WR. WB, MARI JADIKAN ISLAM SEBAGAI JALAN HIDUP, AGAR HIDUP KITA ISLAMI (SELAMAT)

Jumat, 12 Maret 2010

RECHTSVINDING (PENEMUAN HUKUM)

Oleh : ICANG WAHYUDIN


Kasus :

Suami isteri  (telah mempunyai satu orang anak masih sekolah SMA dan mempunyai harta bersama) telah bercerai berdasarkan putusan Pengadilan Agama. Mantan suami telah menikah kembali dengan seorang perempuan, menyusul kemudian mantan isteri menikah dengan seorang laki-laki lain, sementara anak mereka tetap tinggal dirumah peninggalan kedua orang tuanya sendirian (tidak ikut dengan ayah atau ibunya). Mantan suami mengajukan gugatan pembagian harta bersama ke Pengadilan Agama. Bagaimana nasib anak mereka atas permohonan pembagian harta bersama tersebut ?.

Jika dilihat aturan tentang pembagian harta bersama sebagaimana pasal 97 KHI , maka harta bersama dibagi dua antara mantan suami dan mantan isteri. Apakah hakim harus tetap membagi harta bersama itu sebagaimana bunyi pasal tersebut, ataukah ada bahagian anak yang mesti dikeluarkan dari harta bersama tersebut sehingga dibagi tiga (1/3 untuk anak).

Uraian :

Menurut hemat penulis, seorang hakim yang dijamin kebebasannya dalam memutus perkara oleh undang-undang harus memutus berdasarkan hukum dan keadilan. Dalam kasus ini peraturan perundang-undangan tidak mengatur bahagian anak dari harta bersama, sehingga hakim harus melakukan penemuan hukum dengan melihat fakta konkrit/kejadian. Disamping itu hakim dalam hal ini harus melihat ralitas dimana jika harta bersama tersebut dibagi dua, maka nasib anak akan tidak terjamin karena selain kasih sayang dan bimbingan orangtua yang tidak lagi deperolehnya, ditambah lagi dengan beban ekonomi, sehingga tidak ada keadilan untuk sang anak. Jika anak ikut kepada salah satu diantara kedua orangtuanya belum tentu menjamin kebahagaan anak dengan hidup bersama ayah atau ibu tiri.

Pada kasus yang labih spesifik, dimana tidak terdapat aturan tertulis dalam hukum positif, dapat dilihat pula ketentuan pasal 16 undang-undang No. 4 tahun 2004  “Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadilai dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk mameriksa dan mengadilinya”.
Pasal 28 berbunyi “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum, dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”.

Dari dua pasal tersebut diatas sudah jelas bahwa hakim di Indonesia harus memiliki kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (rechtvinding) sehingga hakim wajib menemukan hukum yang heteronom sepanjang hakim terikat kepada undang-undang. Akan tetapi penemuan hukum oleh hakim tersebut mempunyai unsur-unsur otonom yang kuat disebabkan hakim harus menjelaskan atau melengkapi undang-undang menurut pendangannya sendiri. Rechtvinding adalah proses pembentukan hukum oleh hakim/aparat penegak hukum lainnya dalam penerapan peraturan umum terhadap peristiwa hukum yang konkrit dan hasil penemuan hukum menjadi dasar untuk mengambil keputusan. Pandangan tentang penemuan hukum (rechtvinding) ini pun telah menjadi suatu aliran atau mazhab tersendiri diantara mazhab/aliran-aliran hukum, antara lain :

1.    Aliran konservatif oleh Montesquieu dan Immanuel Kant, aliran ini berpandangan klasik,  berpendapat bahwa Hakim dalam menetapkan undang-undang terhadap peristiwa hukum sesungguhnya tidak menjalankan perannya secara mandiri. Hakim hanyalah penyambung lidah atau corong Undang-undang “Bouchedelaloi” sehingga tidak dapat merubah kekuatan hukum Undang-undang, tidak dapat menambah, tidak dapat menguranginya karena undang-undang satu-satunya sumber hukum positif. Undang-undang merupakan premis mayor dan peristiwa konkrit merupakan premis minor, sedangkan putusan Hakim adalah konklusi (kesimpulannya). Putusan merupakan kesimpulan logis dan tidak akan melebihi dari yang terdapat pada premis-premisnya. Ini merupakan pandangan yang logiscistis, karena didasarkan pada Pasal 20 AB “Hakim harus mengadili menurut Undang-undang kecuali ditentukan dalam pasal 11, hakim sama sekali tidak boleh menilai arti atau keadilan dari undang-undang”. Pasal 21 AB : “Tiada seorang Hakim pun dengan jalan peraturan umum, disposisi atau reglemen boleh memutuskan dalam perkara yang tunduk kepada keputusannya”.

2.    Sebagai reaksi atas aliran konservatif, lahirlah penentangnya yang berpandangan lebih modern yaitu Aliran Progresif yang di pelopori oleh Van Eikema Hommes teori dan pendapatnya disebut materi Juridis, yang di Jerman dipertahankan oleh Oscar Bullow, Eugen Ehrlich, di Perancis oleh Francois Geny, di Amerika oleh Oliver Wendel Holmes dan Jerome Frank. Geny menentang penyalahgunaan cara berfikir yang abstrak logistis dalam pelaksanaan hukum dan fiksi bahwa Undang-undang berisikan hukum yang berlaku. Oliver Wendel Holmes & J. Frank menentang pendapat yang mengatakan bahwa hukum yang ada itu lengkap yang dapat menjadi sumber bagi Hakim dalam memutuskan peristiwa konkrit. Penemuan hukum lebih menggunakan pandangan Mazhab historis yang dipelopori oleh Carl Von Sevigny yaitu Hakim perlu juga memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang hidup dalam masyarakat, karena setiap bangsa itu memiliki jiwa bangsanya masing-masing “volkgeist” yang berbeda untuk setiap tempat. Hukum precedent dinegara-negara Anglo Saxon adalah hasil penemuan hukum yang otonom sepanjang pembentukan peraturan & penerapan peraturan dilakukan oleh hakim berdasarkan hati nuraninya tetapi juga sekaligus bersifat heteronom karena Hakim terikat kepada keputusan-keputusan terdahulu dan atau faktor-faktor diluar hakim.

Kenyataannya undang-undang, walaupun jelas namun tidak mungkin lengkap dan tuntas dan tidak mungkin mengatur segala kegiatan manusia yang kompleks sebagaimana aturan Tuhan. Setiap peraturan perundang-undangan  itu bersifat abstrak dan pasif. Abstrak karena sangat umum sifatnya dan pasif karena tidak akan menimbulkan akibat hukum apabila tidak terjadi peristiwa konkrit. Peristiwa hukum yang abstrak memerlukan rangsangan agar dapat aktif, agar dapat diterapkan kepada peristiwanya. Interpretasi (penafsiran) adalah salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dan atau teks undang-undang tersebut diterapkan kepada peristiwa konkritnya.

Carl Von Savigny memberi batasan tentang penafsiran yaitu rekontruksi pikiran yang tersimpul dalam undang-undang. Hal ini bukan metode penafsiran yang dapat dipergunakan semaunya akan tetapi pelbagai kegiatan yang semuanya harus dilaksanakan bersamaan untuk mencapai tujuan yaitu penafsiran undang-undang. Yang memerlukan penafsiran ialah terutama perjanjian dan undang-undang. Dalam hal bunyi atau kata-kata dalam perjanjian itu cukup jelas tidak perlu dijelaskan. Penjelasan tidak boleh ditafsirkan menyimpang dari bunyi (isi) perjanjian, azas ini disebut “Sens Clair” tercantum dalam pasal 1342 KUHPerdata : “Apabila kata-kata dalam perjanjian itu tegas maka tidak dibenarkan untuk menyimpang dari padanya dengan jalan penafsiran”.
Mengenai penafsiran hukum, terdapat metode penafsiran antara lain : (lihat P.A.F. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana)


1.    Metode interpretasi menurut bahasa (gramatikal) yaitu suatu cara penafsiran undang-undang menurut arti kata-kata (istilah) yang terdapat pada undang-undang. Hukum wajib menilai arti kata yang lazim dipakai dalam bahasa sehari-hari yang umum. Misalnya peraturan perundang-undangan melarang orang menghentikan “kenderaannya” pada suatu tempat. Kata kendaraan bisa ditafsirkan beragam, apakah roda dua, roda empat atau kendaraan bermotor, bagaimana dengan sepeda atau bendi. Jadi harus diperjelas dengan kendaraan mana yang dimaksudkan. Atau mengenai istilah “dipercayakan” yang tercantum dalam pasal 342 KUHP. Contoh : sebuah paket yang diserahkan kepada PT.POS sedangkan yang berhubungan dengan pengiriman tidak ada selain PT. POS tersebut artinya dipercayakan. Atau istilah “menggelapkan” dalam pasal 41 KUHP sering ditafsirkan sebagai menghilangkan;


2.    Metode interprestasi historis yaitu menafsirkan undang-undang dengan cara melihat sejarah terjadinya suatu undang-undang. Penafsran historis ini ada 2 yaitu : pertama : penafsiran menurut sejarah hukum (rechts historische interpretatie) yaitu suatu cara penafsiran dengan jalan menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang berhubungan dengan hukum seluruhnya. Contoh : KUHPerdata yang dikodifikasikan pada tahun 1848. Menurut sejarahnya mengikuti code civil Perancis dan di Belanda (Nederland) di kodifikasikan pada tahuan 1838. Kedua : penafsiran menurut sejarah penetapan suatu undang-undang (Wethistoirsche interpretatie) yaitu penafsiran undang-undang dengan menyelidiki perkembangan suatu undang-undang sejak dibuat, perdebatan-perdebatan yang terjadi dilegislatif, maksud ditetapkannya atau penjelasan dari pembentuk undang-undang pada waktu pembentukannya.


3.    Metode interpretasi sistematis yaitu penafsiran yang menghubungkan pasal yang satu dengan pasal yang lain dalam suatu perundang-undangan yang bersangkutan, atau dengan undang-undang lain, serta membaca penjelasan undang-undang tersebut sehingga dapat difahami maksudnya. Misalnya dalam pasal 1330 KUHPerdata menyatakan “Tidak cakap membuat persetujuan/perjanjian antara lain orang-orang yang belum dewasa”. Muncul pertanyaan : “Apakah yang dimaksud dengan orang-orang yang belum dewasa”. Hal tersebut harus dikaitkan pada pasal 330 KUHPerdata yang mengatur batasan orang yang belum dewasa yaitu belum berumur 21 tahun. Atau contoh lain jika hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang dilahirkan diluar perkawinan orang tuanya, tidak cukup hanya mencari ketentuan-ketentuan didalam KUHPerdata saja tapi harus dihubungkan juga dengan pasal 278 KUHP.


4.    Metode interpretasi teleologis sosiologis yaitu penafsiran suatu undang-undang itu ditetapkan berdasarkan tujuan kemasyarakatan artinya peraturan perundang-undangan disesuaikan dengan hubungan dan situasi sosial yang baru. Ketentuan undang-undang yang sudah tidak sesuai, kemudian disesuaikan dengan keadaan sekarang untuk memecahkan/menyelesaikan sengketa dalam kehidupan masyarakat. Peraturan yang lama dibuat aktual. Penafsiran seperti ini yang harus dimiliki lebih banyak pada hakim-hakim di Indonesia mengingat Indonesia yang pluralistik dan kompleks. Peraturan perundang-undangan dalam tatanan Hukum Nasional harus diterjemahkan oleh para hakim sesuai kondisi sosial suatu daerah. Misalnya : Didaerah suku Dayak di Kalimantan, tanah dianggap seperti ibu yang dapat dimiliki oleh setiap orang dan harus dijaga/dirawat layaknya menjaga/merawat seorang ibu. Dalam hal ini hakim harus menserasikan pandangan sosial kemasyarakatannya dengan Undang-undang No. 5 tahun 1960 tentang UU Pokok-pokok Agraria.


5.    Metode intepretasi authentik (resmi) yaitu penafsiran yang diberikan oleh pembuat undang-undang tentang arti kata-kata yang digunakan dalam undang-undang tersebut. Misalnya : Dalam Titel IX Buku I KUHP memberi penjelasan secara resmi (authentik) tentang arti beberapa kata/sebutan didalam KUHP. Seperti dalam Pasal 97 KUHP yang dimaksud “sehari” adalah masa yang lamanya 24 jam, “sebulan” adalah masa yang lamanya 30 hari. Tetapi tafsiran dalam Titel IX Buku I KUHP ini tidak semestinya berlaku juga untuk kata-kata yang dipergunakan oleh peraturan pidana diluar KUHP artinya hakim tidak hanya bertindak sebagai corong hukum saja melainkan harus aktif mencari dan menemukan hukum itu sendiri dan mensosialisasikannya kepada masyarakat.


6.    Metode interpretasi ekstentif yaitu penafsiran dengan cara memperluas arti kata-kata yang terdapat dalam undang-undang sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkan kedalamnya. Misalnya : Yurisprudensi di Belanda : “Menyambung” atau “menyadap” aliran listrik dapat dikenakan pasal 362 KUHP sehingga Yurisprudensi memperluas pengertian unsur barang (benda), dalam pasal 362 KUHP.


7.    Metode Interpretasi restriktif yaitu penafsiran yang membatasi/mempersempit maksud suatu pasal dalam undang-undang. Misalnya putusan Hoge Road Belanda tentang kasus Per Kereta Api “Linden Baum” bahwa kerugian yang dimaksud pasal 1365 KUHPerdata juga termasuk kerugian immateril yaitu pejalan kaki harus bersikap hati-hati sehingga pejalan kaki juga harus menanggung tuntutan ganti rugi separuhnya (orang yang dirugikan juga ada kesalahannya).


8.    Metode interpretasi analogi yaitu memberi penafsiran pada sesuatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata dalam peraturan tersebut sesuai dengan azas hukumnya sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak termasuk kedalamnya dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut karena ada kesamaan illat. Misalnya penafsiran “penjualan” dalam pasal 1576 KUHPerdata yaitu “Penjualan barang yang disewa tidak memutuskan sewa menyewa kecuali apabila diperjanjikan”. Apabila misalnya seseorang menghibahkan rumah miliknya kepada orang lain sedangkan rumah tersebut dalam keadaan disewakan kepada orang lain. Berdasarkan persamaan yang ada dalam perbuatan memberi (hibah), menukar, mewariskan dengan perbuatan menjual, dan persamaan itu adalah perbuatan yang bermaksud mengasingkan suatu benda, maka hakim membuat suatu pengertian “bahwa pengasingan (menukar, mewariskan) tidak memutuskan (mengakhiri) sewa menyewa. Pasal 1576 KUHPerdata walau hanya menyebut kata “menjual” masih juga dapat diterapkan pada peristiwa hibah, menukar dan mewariskan. Namun oleh Scholten konstruksi hukum seperti diatas tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang. Konstruksi itu harus meliputi bahan-bahan yang positip (Contructive moet de positive stof dekken). Yang dimaksud dengan bahan-bahan positif adalah sistem materil undang-undang yang sedang berlaku. Konstruksi itu harus didasarkan atas pengertian-pengertian hukum yang memang ada dalam undang-undang yang bersangkutan dan menjadi dasar undang-undang yang bersangkutan. Konstruksi tidak boleh didasarkan atas anasir-anasir (elemen-elemen) diluar sistem materil positif. Didalam hukum pidana analogi dilarang sedangkan metode interpretasi ekstensif dibolehkan (misalnya kasus penyambungan/penyadapan aliran listrik). Hukum di Inggris yang sebagian tertulis (Statute law) dan sebagian tidak tertulis (Common law) mengenal analogi. Walaupun demikian hukum di Inggris menolak menggunakan analogi terhadap hukum pidana. Sedangkan di Rusia menghilangkan dengan sengaja ketentuan nullum delictum dan menggunakan prinsip bahwa hakim pidana harus menghukum semua tindakan yang membahayakan masyarakat.


9.    Metode interpretasi argumentus a contrario yaitu suatu penafsiran yang memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkrit yang dihadapi dengan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Berdasarkan kontradiksi ini ditarik suatu kesimpulan bahwa perkara yang dihadapi tidak termasuk kedalam pasal tersebut melainkan diluar peraturan perundang-undangan. Scolten mengatakan bahwa hakekatnya tidak ada perbedaan antara menjalankan undang-undang secara analogi dan menerapkan undang-undang secara argumentum a contrario hanya hasil dari ke 2 menjalankan undang-undang tersebut berbeda-beda, analogi membawa hasil yang positip sedangkan menjalankan undang-undang secara argumentus a contrario membawa hasil yang negatif. Misalnya dalam pasal 34 KUHPerdata menyatakan bahwa seorang perempuan tidak dibenarkan menikah lagi sebelum lewat suatu jangka waktu tertentu yaitu 300 hari sejak perceraian dengan suaminya. Berdasarkan penafsiran argumentus a contrario maka ketentuan tersebut tidak berlaku bagi lelaki/pria. Menurut azas hukum perdata (Eropa) seorang perempuan harus menunggu sampai waktu 300 hari lewat sedangkan menurut hukum Islam dikenal masa iddah yaitu 3 x quru’ karena dikhawatirkan dalam tenggang waktu tersebut masih terdapat benih dari suami terdahulu. Apabila ia menikah sebelum lewat masa iddah menimbulkan ketidak jelasan status anak yang dilahirkan dari suami berikutnya.
Demikian sekilas tentang penafsiran yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam memutus perkara jika terkendala oleh ketidak-jelasan peraturan tertulis, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak memutus perkara berdasarkan hukum dan keadilan.

Dalam upaya menegakkan hukum, menurut Sudikno Mertokusumo, ada 3 unsur yang harus diperhatikan, yaitu kepastian yakni hukum (Rechtsscherheit), kemanfaatan, dan keadilan. Harus ada kompromi secara imbang dan proporsional antara ketiga unsur tersebut. Meski dalam praktek tidak selalu mudah dalam mewujudkan keseimbangan antara ketiga unsur ini.

Untuk mewujudkan ketiga unsur tersebut diperlukan peran hakim yang jeli dan agar tercapai putusan yag berkualitas, seorang hakim harus mengerahkan energi mental,emosional dan spiritual dalam memeriksa perkara.(Pembinaan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Padang di Pengadilan Agama Padang, tanggal 29 Februari 2010). Energi mental dapat diimplementasikan berdasarkan pertanyaan seorang hakim kepada dirinya “saya berfikir” sehingga putusan dijatuhkan atas pemikiran yang jernih. Energi Emosional dapat diimplementasikan berdasarkan pertanyaan seorang hakim kepada dirinya “saya merasakan” sehingga putusan dijatuhkan atas dasar perasaan keadilan. Energi Spiritual dapat diimplementasikan berdasarkan pertanyaan seorang hakim kepada dirinya “saya meyakini” sehingga putusan dijatuhkan atas dasar keyakinan yang kuat berdasarkan hukum dan keadilan.

Terhadap kasus diatas, bagaimana komentar anda ?

Terimakasih
Wassalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar