Info Terkini

ASSALAMU'ALAIKUM WR. WB, MARI JADIKAN ISLAM SEBAGAI JALAN HIDUP, AGAR HIDUP KITA ISLAMI (SELAMAT)

Senin, 16 Maret 2015

TERIMA KASIH KARENA MASIH MEMBUAT RUMAH KITA BERANTAKAN


TERIMA KASIH KARENA MASIH MEMBUAT RUMAH
KITA BERANTAKAN




“Aku heran sama istriku!” Suatu hari seorang
teman mengunjungi saya dan mulai menceritakan
keluhan-keluhannya tentang istrinya. “Aku sudah bingung harus bagaimana?” Katanya.
Sebenarnya saya tidak enak untuk membicarakan masalah pribadi seperti ini. Tetapi teman saya terus mengajak bicara. Tampaknya ia perlu teman bicara.
“Apa masalahnya?” Tanya saya.
Raut wajahnya tampak kesal. Kemudian berubah
kecewa, “Banyak,” jawabnya pendek.
“Apa yang paling membuatmu kesal?”
“Istriku pemalas!” Jawabnya.
Saya tak memberi komentar apa-apa,
menunggunya melanjutkan pembicaraan.
“Setiap hari, sepulang kerja, rumah kami selalu
berantakan.” 
Benar saja, ia melanjutkan ceritanya, “Padahal istriku seharian di rumah saja bareng anak-anak. Apa dia nggak bisa menyisihkan sedikit waktu buat ngurusin rumah?”
“Rumahku juga sering berantakan. Wajar aja,
kan? Kita tidak tinggal di rumah kosong!” Jawab
saya. Berusaha menenangkan.
Teman saya tampak berpikir. “Iya, sih. Tapi… ini beda!” Katanya kemudian, “Istriku memang dasarnya saja pemalas! Dulunya dia anak orang
kaya, nggak pernah kerja ini-itu, termasuk
mungkin nggak pernah beres-beres rumah.”
“Hmmm… Mungkin kalian butuh asisten rumah
tangga?” Saya berusaha memberi pendapat.
“Sayangnya, kita belum bisa bayar asisten rumah
tangga… Tapi, harusnya dia ngerti kondisiku,
dong! Aku mempercayakan urusan rumah kepadanya. Harusnya dia bisa handle!”
Saya berusaha memahami perasaannya. Saya juga
sering merasakan hal yang sama, kadang-kadang mengeluhkan masalah yang sama pada istri saya.
Wajar saja sepulang kerja suami ingin melihat
rumah dalam kondisi yang bersih dan rapi. Tetapi, bukankah wajar juga jika istri kita kelelahan seharian bermain dengan anak-anak, juga barangkali mengurusi hal lainnya, sehingga urusan rumah kadang-kadang terabaikan?
“Kadang-kadang, aku juga mengeluhkan hal yang sama,” jawab saya kemudian. “Tetapi mungkin kita perlu kacamata baru?”
“Kacamata baru?”
“Ya, semacam sudut pandang baru.” Jawab saya.
“Maksudmu?”
“Kadang-kadang, kita mungkin tidak bisa
mengubah masalah yang kita hadapi. Tetapi kita
bisa mengubah cara pandang kita dalam melihat masalah itu.”
Teman saya membetulkan posisi duduknya, ia
mulai tertarik pada pembicaraan ini.
“Kita tidak tinggal di rumah kosong,” saya
berusaha menjelaskan, “Mungkin kita justru
perlu melihat rumah yang berantakan dengan
perasaan yang bahagia.”
“Kenapa?” Tanya teman saya. Heran.
“Bayangkan jika tak ada mereka di rumah.
Bayangkan tak ada istri dan anak-anak.
Misalnya, karena satu dan lain hal, mereka sudah tidak ada lagi di tengah-tengah kehidupan kita.
Di ruang tengah tak ada lagi anak-anak yang
berlarian mengotori karpet dengan kaki
berlumpur, tak ada lagi sisa-sisa makanan di sofa karena mereka lompat-lompat sambil makan, tak ada lagi mainan yang tidak dibereskan… Karena
mereka telah tiada. Lalu di dapur, tak ada lagi
noda masakan yang menempel di kompor, atau cucian piring yang menumpuk, atau apa saja…Sebab istri kita sudah pergi untuk selama-
lamanya…”
Teman saya menarik nafas panjang, kemudian
menundukkan kepalanya.
“Kita tidak tinggal di rumah kosong. Kita tidak
tinggal sendirian,” Ujar saya, “Barangkali rumah
yang berantakan harus kita lihat sebagai
semacam pemberitahuan bahwa kita masih
bersama istri dan anak-anak kita. Rumah yang
berantakan adalah bukti kehadiran mereka…
Bahwa anak-anak kita masih berbahagia
bermaian dan berlarian di rumahnya. Bahwa istri
kita selalu berbaik hati menghabiskan waktunya
di rumah, menemani anak-anak bermain, dan tak meminta apa-apa lagi yang boleh jadi kita tak
sanggup untuk mewujudkannya.”
Tiba-tiba teman saya menangis. Agak lama
sehingga saya juga merasa sedih. Saya merasa apa yang baru saja saya bicarakan berlaku untuk
diri saya sendiri.
“Makasih banyak, Fahd. Seringkali kita memang
butuh kacamata baru untuk melihat sesuatu.
Seringkali kita butuh temen ngobrol.” Ujar teman saya.
Saya menganggukkan kepala. “Aku juga terima
kasih. Ini seperti mengingatkan diri sendiri. Aku
juga sering gagal melihat sesuatu dari sudut pandang yang lain…” [truncated by WhatsApp]


Tidak ada komentar:

Posting Komentar